Minggu, 25 Mei 2014

MANAJEMEN PERTUNJUKAN

Salam Budaya…………!!!!
Kali ini kita akan membahas mengenai Manajemen Pertunjukan. Apa itu Manajemen Pertunjukan?

Manajemen Pertunjukan adalah proses merencanakan dan mengambil keputusan, mengorganisasikan, memimpin, dan mengendalikan sumber daya manusia, keuangan, fisik, dan informasi yang berhubungan dengan pertunjukan agar pertunjukan dapat terlaksana dengan lancar dan terorganisir.
Fungsi dari manajemen pertunjukan:

  • Perencanaan
Dalam perencanaan ini yang pertama dilakukan adalah menetapkan sasaran lalu memilih tindakan yang akan diambil dari berbagai alternatif yang ada.

  • Pengorganisasian 

Dalam proses ini dilakukan pengalokasian sumber daya, penyusunan jadwal kerja dan koordinasi antar unit-unit dalam suatu kepanitiaan.
  • Pengendalian 
Pengendalian di sini berarti membandingkan perencanaan dengan realisasi. Lalu mengambil tindakan koreksi atas realisasi yang tidak sesuai dengan perencanaan.

PROSES SEBELUM PEMENTASAN
  • Pembentukan Kepanitiaan

Agar kegiatan dapat terlaksana dengan baik dan berjalan dengan lancar, maka dibentuklah suatu kepanitiaan kegiatan. Panitia adalah sekelompok orang yang ditunjuk atau dipilih untuk mempertimbangkan dan mengurus hal-hal yang ditugaskan kepadanya. Tujuan apa yang ingin dicapai dalam kepanitiaan bersifat sementara dan jangka pendek, dalam artian bahwa kepanitiaan akan berakhir jika kegiatan/tugas selesai.



  • Penentuan Tema
Dalam suatu kegiatan sangat diperlukan suatu tema untuk memberi batasan dan memberi arah pada kegiatan yang akan dilakukan. Dan tema dalam suatu kegiatan dapat diambil dari kejadian yang ada di lingkungan kita. Misalnya tema tentang Alam ( SAVE THE NATURE GUYS).


  • Pembuatan Time Schedule
Dalam suatu kepanitiaan harus membuat susunan jadwal kerja atau yang biasa disebut time schedule. Time schedule sendiri berfungsi untuk menertibkan kinerja tiap divisi dalam kepanitiaan. Dengan time schedule diharapkan kinerja panitia sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.


  • Penunjukan Stage Manager dan Pembuatan Run Down
Stage Manager bertugas merumuskan atau menetapkan secara lebih detail pelaksanaan acara pada hari-H terutama pada konsep penampilan dan pengisi acara, tata panggung dan tata lampu serta terjun langsung ke lapangan pada hari-H dan turun tangan langsung.
Run down adalah detail susunan acara dalam suatu kegiatan pada hari-H. Dalam run down tercantum secara detail person yang terlibat dan peralatan yang dibutuhkan dalam setiap penampilan serta keterangan-keterangan yang diperlukan.

PEMENTASAN


  • Pra Pementasan
Dalam tahap ini dilakukan gladi bersih sebagai persiapan terakhir untuk menuju sebuah pementasan. Tujuan dari tahap ini adalah sebagai simulasi pada hari-H agar seluruh panitia yang terlibat siap untuk menghadapi kendala-kendala yang mungkin akan terjadi saat melakukan sebuah pementasan.
  • Pementasan
Pada tahap ini seluruh panitia diharapkan fokus pada pertunjukan sesuai dengan job description masing-masing dan berkoordinasi dengan stage manager agar pementasan berjalan sesuai dengan run down.


  • Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ)
Ketika tugas telah selesai dilaksanakan, ketika acara telah berakhir, kerja kepanitiaan belumlah berakhir. Karena masih harus dilakukan pertanggungjawaban dari kepanitiaan dalam bentuk LPJ. LPJ dimaksudkan untuk memastikan, apakah planning yang dilakukan pada awal kepanitiaan berjalan sebagaimana mestinya.

Salam Budaya…………!!!!!!!!!



Sumber http://yozaanshori.multiply.com/
Oleh: Yoza Anshori

TEATER SEBAGAI ORGANISASI


Proses Teater merupakan sebuah proses organisasi (bentuk kerja kolektif; dimana segala macam orang dengan segala macam fungsinya tergabung dalam suatu koordinasi yang rapih,dan juga mencakup juga pengertian sampai batas-batas yang sentimentil), seperti hal nya diri manusia itu sendiri, atau layaknya seperti sebuah negara. Keberhasilan suatu pertunjukan Teater dapat juga sebagai keberhasilan suatu seni organisasi; baik organisasi penyelenggaraannya (Panitia Produksi) maupun segi seni-seninya (Penyutradaraan, Penataan set, Permainan, Musik dan unsur-unsur lain).

Berikut ini contoh Elemen dari sebuah Group Teater dalam mengadakan sebuah Produksi.

-         Pimpinan Produksi
-         Sekretaris Produksi
-         Keungan Produksi / Bendahara
-         Urusan Dokumentasi
-         Urusan Publikasi
-         Urusan Pendanaan
-         Urusan Ticketing atau karcis
-         Urusan Kesejahteraan
-         Urusan Perlengkapan

-         Sutradara
-         Art Director / Pimpinan Artistik
-         Stage Manager
-         Property Master
-         Penata Cahaya
-         Penata Kostum
-         Penata setting
-         Perias / Make Uper
-         Penata Cahaya
-         Penata Musik
Setiap Elemen memiliki tugas sendiri-sendiri dan sudah seharusnya untuk bertanggungjawab penuh atas tugas itu (secara profesional). Sebagai Contoh seorang Urusan Pendanaan, ia harus memikirkan seberapa besar dana yang dibuhtuhkan? Dari mana dana itu didapatkan. Begitupula seorang Sutradara yang bertanggungjawab atas pola permainan panggung; (akting pemain, cahaya, bunyi-bunyian, set, property dan lain-lain).
Jikalau kita memandang Elemen dalam Group Teater, ada kesamaan dengan elemen dalam tubuh kita sendiri; setiap organ tubuh memiliki fungsi sendiri, tetapi saling berhubungan dan tergabung dalam fungsi yang sempurna. Teater ibarat laboratorium kehidupan itu sendiri, seperti yang diungkapkan Peter Brook “Teater akan menjadi tempat yang indah bagi orang-orang yang mabuk dan kesepian, Teater merupakan sebuah tindak budaya, Teater bukanlah tempat untuk melarikan diri ataupun untuk mencari perlindungan”.

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah Adjib A., Pengantar Bermain Drama, CV Rosda, Bandung.
Noer C. Arifin, Teater Tanpa Masa Silam, DKJ, Jakarta, 2005.
Iman Sholeh & Rik Rik El Saptaria, Module Workshop Keaktoran Festamasio 3, TGM, Yogyakarta, 2005.


Sumber : http://materiteater.blogspot.com


Di Sebuah Kedai Kopi


Adalah suatu masa ketika kosong itu menjadi hal yang paling menakutkan, ketika hilangnya tujuan menjadi suatu yang membahayakan. Merindukan hal yang sulit ditemukan lagi hilang dalam kerinduan itu sendiri. Sendiri itu menyakitkan, suatu pencapaian pada puncak dari titik jemu memaksa diri untuk tidak lagi berharap pada kenyataan. Kasih sayang semu, tak lagi ada ketulusan atau kejujuran, kedekatan yang berkedok belaka terlihat manis dan anggun namun menusuk dari belakang. Di tempat itu dulu tumbuh cinta kasih yang indah namun tak sadar terlewatkan, penyesalan demi penyesalan yang kini mengisi kehidupan. “Tuhan mengapa Kau gariskan takdir itu berliku, bukan takdir yang selamanya indah, yang selamanya baik. Bukankah takdir yang baik itu indah?”
Mereka yang tidak mengerti arti kehilangan mungkin akan berlalu begitu saja, biarkan mengalir kata mereka. Namun mengalir bukanlah jawaban yang ingin aku cari. Kekosongan itu semakin mengintimidasi. Tak ada ujung simpul dari penantian yang aku jalani selama ini, pun tak ada kebahagian yang aku banggakan. Semua berputar dan terus berputar tanpa ada akhir.
Sejenak aku hisap sebatang rokok yang sedari tadi aku diamkan bercumbu dengan asbak hingga hanya menyisakan satu hisapan terakhir. Aku pertemukan lagi rokokku dengan asbak, aku padamkan apinya di asbak yang ia kasihi itu. Kemudian aku memandang kearah cangkir kopi yang sedari tadi aku diamkan, seolah mengiba untuk diminum barang hanya seteguk saja, mengiba seperti rinduku ini. Lalu aku minum secangkir kopi yang mulai dingin itu.
Harapan yang kuseduh dulu, mengeruh di secangkir kopi itu. Aku memang selalu butuh secangkir kopi, bukan hanya untuk sekedar menahan kantuk yang mendera, tapi juga untuk menahan rindu yang selalu saja menyiksa.
Rasa kopiku kali ini, adalah rasa rindu yang tak tersampaikan. Dan di kedai yang tak menjual kerinduan ini aku teguk kopi itu sedikit demi sedikit diiringi sayup-sayup alunan lagu Dear Diary milik grup Mocca yang mulai aku suka, baru pertama kali itu aku mendengarnya. Kurang lebih liriknya seperti ini...

Dear Diary..
Let me tell you about my story..
I know it’s rather sad..
But that’s the way I fell...

Lalu kenikmatanku meneguk kopi dengan iringi alunan musik syahdu itu seketika berubah. Aku melongok ke sisa kopi yang aku teguk, begitu pekat. Dan aku melihat kelamnya hidupku di tengah pekatnya, ujar kopi itu sangat pahit. Tapi apalah artinya pahit kopi yang sepahit-pahitnya jika dibanding dengan kehidupan. Kini semua pikiranku menjadi satu, penuh sesak. Aku mulai merenungkan hidupku.
Aku bukan kaum hedonis yang mengejar kebahagiaan dunia semata, namun apa yang terjadi jika pada akhirnya kebahagiaan dunia pun tak dapat aku raih? Apakah bahagia akhirat menjadi jaminan bagiku?
Jam menunjuk angka 12, sama seperti waktu dulu ketika aku masih memiliki sedikit bahagia dalam diriku. Masih aku terpaku pada renungan tentang hidup.
Bolehkah aku menyusul kalian kesana? Aku merasa kesepian di tempat ini. Aku seperti makhluk asing yang selalu dijadikan obrolan mereka ketika malam. Dan dengan lantang mereka menertawakanku. Aku bosan di tempat ini. Aku bosan di tempat dimana aku tak mempunyai tujuan pasti. Aku bosan jadi pecundang di dunia yang aku yakini. Kebodohan mana lagi yang mereka perbincangkan? Sendiri aku menanggung sepi ini, setiap langkahku adalah salah, setiap lisanku adalah sampah yang tercecer pada barisan waktu. “Lalu kebahagiaan mana lagi yang mampu aku miliki?” Aku bertanya pada diriku sendiri.
Semua orang mengenakan topeng dan riasan yang tebal. Menyembunyikan jati diri mereka dibalik setiap senyum dan ramah yang mereka pajang. Panggung ini bukan lagi untukku Tuhan. Aku kutuk diriku sendiri yang menyia-nyiakan waktu. Aku bukanlah panglima perang pada abad ke-16 yang dengan gagah berani menantang musuh dan begitu kuat bertahan di medan perang walau dengan tantangan hujan panah yang mampu membunuh mereka dengan cepat.
Aku hanyalah aku sedemikian sederhananya aku. Dan aku adalah aku yang merasa keadilan tak lagi berpihak kepadaku. Kemudian pada kebahagiaan mana lagi aku dapat menyimpan air mata ini?
            Di depanku ada sekelompok orang yang bercengkerama dengan asyik, 2 pria 3 wanita, aku tak tahu pasti apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi kurasa itu obrolan yang begitu hangat, begitu seru. Mungkin semua hal mereka obrolkan, tanpa mereka pedulikan dunia melihat mereka. Setelah lama kau perhatikan, obrolan itu semakin hangat layaknya obrolan dalam sebuah keluarga, yang sebenernya sudah sejak lama aku sendiri tak merasakannya lagi. Semenjak itu semua di hariku berubah dingin dan hambar. Aku merindukan waktu, tapi aku harus berkencan dengan takdir. Takdir yang membawaku pada relung kesedihan ini.
Aku terbiasa takut untuk memejamkan mata, bahkan aku takut untuk terlelap dalam kesendirian. Karena lelapku mengundang mimpi yang begitu indah, begitu nyata. Mengundang kehadiran mereka yang tak lagi ada. Dengan sedikit keberanian yang tersisa aku mencoba merasakan semesta di sekelilingku, aku berpaling dari ingatanku. Aku menginjakkan jejak nestapaku di dalam gelap. Gelap itu menjadi ruang.
Ruang jiwa itu kosong tiada berpenghuni, usang dimakan sang waktu. Di sudut ruang itu pikiranku melayang-layang tak mampu aku raih, dengan segala ketidakwarasan ku mengutuk kehidupan. “Mungkin mati lebih baik untuk keadaanku sekarang ini” Pikirku. Lalu suara-suara menakutkan itu mulai datang dan memecah kesunyian di ruang itu. “Hei Ardi! Kau sudah terlalu banyak menapak dosa di kehidupanmu! Sekarang kau sendiri dan kau mati tapi kau tak tahu bahwa kau mati! Kau tak tahu bahwa kau telah mati dan kau mati!”
“Kau meledekku! Aku belum mati tapi memang aku ingin mati!” bentakku pada suara itu. “Dan kau masih belum juga menyadari arti kematianmu? Kau telah ditinggalkan dalam arti yang sebenarnya Ardi! Kau di buang ke dalam kekosongan hatimu sendiri! Kau sendiri dan tak ada satupun yang peduli! Kau mati baik jiwa dan raga! Kau mati entah itu kau tahu ataupun tidak!!”
“Dan kau masih belum paham? Dosa yang kau perbuat sudah cukup untuk membalasmu agar sengsara. Dan kau masih belum paham? Kau ditinggalkan karena nafsumu yang tak dapat kau tahan, dunia yang kau kejar Ardi? DUNIA!” Suara lain mulai masuk dan menambah ketakutanku. “Lalu apa lagi yang harus aku lakukan, waktu telah berputar sesuai kodratnya, dan tak mampu aku putar balikkan waktu meski aku mau” Aku mulai terisak bersama keluarnya pembelaanku. “Dan kau masih belum paham? Itulah penyesalan, raja dari segala bentuk rasa yang tak mampu kau kuasai! Dan kau masih belum paham? Dan kau masih belum paham? Dan kau takkan pernah paham karena kau telah mati!” Semakin lama suara itu semakin memberatkan suaranya, seperti gemuruh, seperti dentuman, seperti ledakan bom, atau entah apa saja itu. “Lantas?” aku jadi ciut dengan hardikannya. “Lihatlah dirimu, bodoh! Angkuh! Mabuk kau dengan dunia!” Aku terus mencermati suara itu. “Dan kau kini nista, sendiri menjalani hari-harimu. Tak ada yang peduli padamu, bahkan tidak sedikitpun dari dirimu.” Aku semakin mengenali suara itu, beragam tapi ternyata sama. Aku telah tertipu oleh pendengaranku sendiri.
Dan ketika aku meyadari tipu muslihat itu seketika pula bayangan masa lalu yang aku lupa terputar bagai sebuah film di depanku, aku menonton diriku sendiri disana. Gambar-gambar bergerak begitu pelan, hening, semua tampak rapi tersusun menjadi film yang bahkan jauh lebih menakjubkan dari film pemenang piala penghargaan perfilman, dengan segala skenario yang dibuat sedemikian rupa, dengan pemain yang cerdas membawakan perannya. Namun di depanku kini aku melihat film tentang perjalanan masa lalu ketika mereka yang kini tak ada masih ada, dan aku seperti terseret kedalamnya, larut bersama film itu. Aku melihat aku yang dulu, yang angkuh, yang masih belia, sombong dan semua negasi dari kebaikan yang ada di muka bumi ini. Semua perbuatanku terceritakan sangat jelas di dalam sana. Bahkan setiap centi langkahku terwakilkan cukup apik di sana. Dan aku-yang-ada-disana tuli pada diriku sendiri. “Hei! Hei aku! Hei!” Aku mencoba memanggil aku-yang-ada-disana, aku di masa lalu yang begitu rapuh.
Semakin aku memaksa teriak, semakin aku menjauh. Aku melihat sendiri apa yang aku lakukan, dulu yang tidak pernah aku sadari. Terlewat begitu saja dan aku lalui tanpa aku pahami. Akhirnya aku menyerah untuk berteriak, kerongkonganku serasa kering. Aku menyerah. Tapi tetap aku perhatikan film itu, semakin aku melihat, semakin aku mengerti. Semakin aku mendengar, semakin aku paham. Ternyata sebab musabab sendiriku saat ini adalah diriku sendiri, refleksi dari semua tingkah dan polahku di masa lalu. Kini aku memahami arti film itu dan aku  sadar aku telah terlambat, semuanya sudah lewat dari waktunya. Tak mungkin lagi bagiku mengejar kereta waktu itu. Aku telah jauh tertinggal. Filmku sendiri itu telah berhenti dan aku kembali. Kembali  kepada perenunganku, senyap sekali rasanya. Semuanya buyar, aku terkejut sendiri dengan apa yang baru saja aku alami dan aku rasakan. Di kedai ini aku diingatkan, aku dibuatnya paham. Bahwa kenangan dan hidup seperti kopi, dapat kau siramkan lagi air panas ke sisa ampasnya, namun rasanya takkan pernah sama. Waktu yang tak akan pernah bisa kembali, rindu yang tak akan pernah terobati. Kini aku benar-benar sendiri. Sendiri itu menyakitkan. Waktu mampu mengubah gedung-gedung, tapi waktu tidak pernah mampu mengubah kenangan.
Aku terlambat menyadari, terlalu banyak aku menuntut diluar aku. Terlalu sering aku membuang waktu, ekspektasiku jauh melampaui batas diriku. Dan kini aku ditinggalkan sendiri disini, dengan dengan segala keabstrakan ini. Aku bergumam “Apalah arti penyesalan kalau semua telah hilang, apakah akan kembali benar dalam kehidupan sekarang yang sudah sangat berbeda?”. Ah, terlalu banyak pertanyaan untuk terlalu sedikit waktu.
Indahnya kenangan tak pernah abadi, ketidakabadiannya itulah yang membuatnya begitu berharga. Mungkin Tuhan ingin mengajarkanku untuk menerima bahkan yang tidak bisa aku terima, tapi mengapa dengan cara seperti ini? Aku, tidak Ardi maksudku, aku sekarang bukan lagi Ardi. Ardi telah lama hilang dari diri ini. Nama Ardi itu hanya sebagai pengenal, namun itu bukan lagi aku. Ardi yang  angkuh, penuh percaya diri, merasa dirinya yang terhebat dibanding yang lain, yang memegang teguh prinsip yang justru mengacaukan arah hidupnya, keyakinan hakiki tentang dirinya sendiri telah tumbang oleh kenangan.
Keluarga, sahabat, cinta dan semuanya telah runtuh. Hancur termakan kejamnya waktu yang tak pernah mau menunggu. Beranjak dan telah pergi dari hidup yang hina ini. Mereka yang dulu pernah ada disampingku setelah sekian waktu yang dijalani bersama, mereka yang dulu menyinari duniaku, kini telah pergi dan tak akan mungkin kembali. Tak ada singgasana yang aku raih, tak ada martabat yang bisa aku pertahankan, dan semua memang mengalir, begitu deras dan menerjunkanku di lembah kesepian. Keluarga, sahabat, cinta, dan semua yang pernah aku miliki dulu, kini sudah tak ada lagi disini. Aku hanya kosong tak berapa-apa. Pergi, jauh dan semakin jauh sementara aku masih saja disini. Meratapi nasib yang menaungiku. Cengeng memang, tapi itulah kenyataan itulah kehidupan.
Mungkin saat ini kita tidak ditinggalkan, namun suatu saat kita memang harus saling meninggalkan. Pergi itu pasti, dan kita dihadapkan pada suatu pilihan untuk bersiap pergi meninggalkan pilu atau bersiap bersedih tanpa kata dalam kesendirian.

Dan sejak renungan di kedai kopi ini aku mencoba mengais sisa-sisa kenangan. Aku memang masih hidup, tapi tinggal jasad saja. Hatiku, jiwaku, semangatku, dan seluruh harapanku sungguh telah dibantai dan mati mengenaskan. Hatiku, jiwaku, semangatku, harapanku telah menemui ajal sejak aku tak mau mendengar sekitar, dan ketika aku tuli pada sekeliling terlebih pada diriku sendiri. 
Dan aku menegaskan pada diriku sendiri bahwa sesungguhnya aku telah benar-benar MATI.

Sumber : http://unear-me.blogspot.com/2014/05/di-sebuah-kedai-kopi-adalah-suatu-masa.html

Sabtu, 24 Mei 2014

Happy Wedding Mas Ponxi Yoga Wiguna (Delik 04) dan Mbak Farah FM (Delik 08)

Selamat Sedulur, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahah. Bahagia selalu Sedulur! :)


Minggu, 18 Mei 2014

Naik Ka-Er-El


: Bambu

Aku pernah kerja di sebuah majalah berita ketika masih berkantor di Senen. Setiap hari harus naik angkot gonta-ganti tiga kali dan setiap masuk kendaraan kepalaku membentur bendul pintu yang rendah, sedikitnya dua kali seminggu, begitu. Jadi, satu kali jalan tiga angkot, pulang balik enam angkot; kalau dua kali seminggu berarti seminggu benjut dua kali enam = 12 kali. Sebulan empat kali 12 = 48 kali benjut. Akhirnya tidak ada bagian yang bisa benjut lagi karena seluruh permukaan kepalaku sudah benjut.

”Lha mbok naik ka-er-el saja, Mas. Nyaman,” kata seorang gadis cantik yang duduk dekat ketua redaksi; ia wartawan baru.

Ya, kenapa tidak begitu saja dulu-dulu, pikirku. Begitulah, sore itu menjelang jam empat beberapa pegawai mengajakku buru-buru kabur supaya tidak ketinggalan kereta jam empat. ”Lumayan kosong, Mas, kalau yang jam empat,” kata salah seorang ketika menuju ke Stasiun Cikini.

Sampai di stasiun, saya tidak boleh menunjukkan tampang orang kaget meskipun menyaksikan begitu banyak orang bergerombol menunggu kereta. ”Apa gerbong-gerbong itu nanti muat?” tanyaku dalam hati. Dalam gerbong tak tersisa lagi pegangan tangan, dan memang tak perlu sebab tanpa berpegangan apa pun tak akan jatuh saking penuhnya. Sepatu menginjak sendal, dengkul beradu dengkul, bokong menyenggol bokong.

Sampai di stasiun tujuan, tidak perlu berusaha apa pun aku terbawa turun tergencet orang-orang yang berdesakan. Turun dari gerbong aku berjalan terpincang-pincang menuju angkot D-04 yang sudah berbaris. Sampai di rumah, kalimat pertama yang diucapkan anakku ketika membukakan pintu adalah, ”Lho, Pak, kok sepatunya kiri dan kanan gak sama?”

Aku tak menjawab karena tak tahu harus bilang apa. Dan ketika dalam kamar berganti celana, baru aku sadar bahwa kakiku yang kiri dan yang kanan tak sama panjangnya, yang kiri bukan kakiku ternyata. Pantas tadi jalanku terpincang-pincang. Tanpa pikir terlalu panjang aku ganti celana lagi langsung berlari keluar, menabrak istriku, mendorong anakku, membuka pintu pagar.

”Hei, Bapak mau ke mana?” tanya mereka hampir serempak.

Apa ada yang perlu aku jawab? Berjalan terpincang-pincang aku ke jalan menunggu angkot. Akan aku tanyai semua orang di stasiun apa ada yang melihat orang yang membawa kabur sebelah kakiku.

Aku akan sabar menunggu.

Cerpen Sapardi Djoko Damono (Kompas, 9 Februari 2014)

Sumber : http://lakonhidup.wordpress.com/2014/02/09/lima-cerpen-sapardi-djoko-damono/


Dan Lalu


Dan berjalan tertatih memapah Lalu. Selalu saja terjadi seperti itu. Padahal sebelumnya Dan berniat untuk maju. Tak lagi mengindahkan tangis Lalu di belakangnya yang mendayu-dayu.

Tapi untuk kesekian kalinya Dan kalah. Kedua kakinya urung melangkah. Tangis Lalu ibarat tali tambang yang menjerat erat kedua kakinya agar tidak pindah. Dan tak berdaya walaupun sebenarnya sudah merasa teramat sangat jengah.

Ketika Dan pertama kali bisa mengingat, itulah awal ia mengenal Lalu. Saat itu Lalu adalah seorang bocah yang masih lugu. Dan ingat betul hari pertama Lalu pergi ke sekolah. Rambutnya yang dikuncir kuda, berpita merah. Tangannya digandeng oleh pembantu. Sementara anak-anak lain datang diantar Ibu. Gerak tubuhnya kaku. Sorot matanya ragu. Lalu seolah tenggelam di dalam lautan orang tua, murid dan guru.

Dan juga masih ingat betul semua kejadian di dalam rumah Lalu yang terletak di kawasan mentereng. Di tingkat rumah gedongan itu ada sebuah tempat khusus untuk menjemur pakaian berlantai seng. Ibu Lalu senang menghukumnya di sana. Lalu disuruh berdiri seharian tanpa ada yang mengalasi kakinya. Panas matahari yang diserap oleh seng membuat telapak kaki Lalu terasa membara awalnya. Tapi jerit kesakitan yang ingin keluar dari dalam mulutnya hanya bisa Lalu teriakkan di dalam batinnya saja. Bagi Lalu tak ada panas yang mampu membakarnya hidup-hidup kecuali bara di dalam mata ibunya.

Ibu Lalu dipersunting pada usia muda. Itu pun sebagai istri ketiga. Kisah klasik tentang kesulitan ekonomi yang membuat kedua orang tuanya dililit hutang. Tak punya pilihan, direlakannyalah sang anak semata wayang. Ibu Lalu tak berdaya menentang. Walau jauh dalam lubuk hatinya meradang.

“Tak ada yang lebih kelam daripada dendam seorang anak pada orang tuanya. Tapi tak ada yang lebih kejam daripada dendam seorang anak kepada orang tuanya yang dilampiaskan kepada keturunannya.” Kalimat Lalu itu terngiang-ngiang di dalam telinga Dan sepanjang waktu. Saat mengatakan itu, Lalu sudah bukan lagi bocah yang lugu. Ia dengan santai duduk sambil merokok tanpa mengenakan baju. Beberapa saat sebelumnya seorang laki-laki pergi. Entah laki-laki keberapa yang hari itu sudah ia tiduri. Lalu sama sekali terlihat tak peduli. Ia lebih menikmati hidupnya kini asal ibunya tak lagi bisa menyakiti.

Melihat semua itu, kadang Dan menyesal juga. ”Setiap orang berhak untuk bahagia,” begitu yang dikatakan Dan saat Lalu menangis terisak-isak di atas bahunya. Kebencian Lalu pada ibunya, adalah kebencian Dan juga. Dan benci setiap kali ibu Lalu mencaci-maki hanya untuk masalah-masalah kecil. Lupa di mana menaruh pensil. Alpa kapan harusnya menggunakan sendok makan besar atau kecil. Kebanyakan ngemil. Padahal Dan tahu kalau penyebab semua itu adalah suami Ibu Lalu sudah jarang sekali pulang dikarenakan istri keempatnya sedang hamil.

Dan lebih benci lagi setiap kali ibu Lalu tidak hanya mencaci-maki, tapi juga melayangkan tamparan hanya karena masalah-masalah yang ia anggap besar. Mendapat nilai buruk dalam pelajaran Aljabar. Menyisihkan uang jajan agar bisa secara diam-diam membeli gitar. Berteman dengan anak-anak yang dianggap berasal dari keluarga tak terpelajar. Padahal Dan tahu kalau penyebab semua itu adalah selain suami ibu Lalu sudah jarang sekali pulang, uang yang diberikan pada mereka pun semakin ala kadar.

Dan pun sangat amat benci setiap kali ibu Lalu tidak hanya mencaci-maki dan melayangkan tamparan. Tapi juga mempersiapkan segala atribut kekerasan hanya karena ia sendiri yang menganggap kenakalan Lalu sudah berada di luar batas kewajaran. Kabur dari Les Tambahan. Yang semula peringkat satu, langsung turun ke peringkat sembilan. Pacaran dengan berandalan. Padahal Dan tahu kalau penyebab semua itu adalah selain suami ibu Lalu sudah jarang sekali pulang dan memberikan uang, Ibu Lalu juga tak bisa memperkarakannya secara hukum tanpa adanya akta pernikahan.

Dan menelan hingga kenyang segala caci-makian maupun tamparan ibu Lalu. Tapi Dan sudah benar-benar muak dengan segala hukuman itu. Dan tak lagi sampai hati melihat kedua telapak kaki Lalu yang melepuh di atas seng. Diikat lalu disekap seharian tanpa minum dan makan dalam kamar mandi pembantu bagai makanan kaleng. Dipaksa makan sepiring kertas-kertas pelajaran Aljabar yang dipenuhi tanda contreng. Padahal semua itu adalah pelampiasan benci ibu Lalu kepada suaminya. Juga kepada kedua orang- tuanya. Tapi anak kandungnya sendiri yang harus menanggung akibatnya.

Dan berjalan tertatih memapah Lalu. Keluar dari rumah Ibu. Kedua telapak kaki Lalu yang melepuh tak lagi terasa perihnya. Penuh harapan menjemput merdeka. Diantarnya Lalu menemui pacarnya di sebuah kamar kumuh. Di sana, Lalu mengeluarkan segala resah dan keluh. Hingga tanpa terasa, keluh itu berangsur jadi lenguh. Berpeluh mereka, sambil saling mengaduh. Segala derita Lalu terasa begitu jauh.

Lalu terbangun saat seseorang meraba pinggulnya. Dibalasnya rabaan tangan itu dengan maha mesra. Tapi alangkah terkejutnya Lalu saat membalikkan tubuhnya. Itu bukanlah tangan pacarnya. Lalu mencoba melawan dengan sekuat tenaga. Tapi kekuatannya sama sekali tak sebanding dengan kekuatan laki-laki yang tengah menindih tubuhnya.

Semuanya terjadi secepat kilat. Namun bagi Lalu, waktu yang berjalan terasa amat lambat. Lalu pun segera tahu jika ia sudah tertipu. Tapi Lalu juga tahu jika pulang bukanlah pilihan yang tepat saat itu. Bisa dengan jelas Lalu bayangkan sorot kepuasan di dalam mata ibunya saat tahu jika ia benar. Laki-laki yang Lalu anggap pacar dan bisa menjadi penyelamatnya itu ternyata tak lebih dari seorang makelar. Bisa dengan jelas Lalu dengar juga suara tawa ibunya yang keluar dari mulut terbuka lebar. Sungguh, dibanding semua yang dibayangkannya itu, Lalu lebih memilih dihajar.

Dan nelangsa dibuatnya. Kalau pun pulang ke rumah Ibu bukan pilihan pertama, membiarkan tubuh dijajakan harusnya bukanlah pilihan kedua.

“Tiap orang berhak untuk bahagia,” lagi-lagi Dan mengingatkan.

“Bahagia itu apa?!” tangkas Lalu.

“Merdeka.”

“Merdeka katamu?!” Lalu tertawa terbahak-bahak. Dibenamkannya dengan kasar nyala rokok ke dalam asbak.

“Kita dilahirkan ini bukan untuk merdeka! Kalau iya, dari awal kita bisa nentuin mau dilahirkan atau enggak. Nah ini, milih dilahirin siapa aja kita gak mampu. Mati dengan cara apa nantinya pun kita gak pernah tau, masih juga ngomongin bahagia. Merdeka. Taik!”

Sekujur tubuh Dan lemas. Apalagi setelah suara Lalu terdengar makin keras.

“Eh, sadar gak kamu berapa sering waktu lagi enak-enak tidur kita mesti bangun kencing?! Kita semua terperangkap di dalam tubuh brengsek ini. Kalo mau merdeka, ya mesti mati!”

Dan terkesiap. Seketika ia merasa siap. Lalu memang seharusnya mati. Jika tidak, tak akan pernah ada kata “Dan” dalam kamus hidupnya nanti.

“Tak ada yang lebih kelam daripada dendam seorang anak pada orang tuanya. Tapi tak ada yang lebih kejam daripada dendam seorang anak kepada orang tuanya yang dilampiaskan kepada keturunannya.”

Dan tidak ada yang lebih seram daripada dendam seorang anak kepada orang tuanya yang dilampiaskan kepada keturunannya, yang menyebabkan sang korban menghukum dirinya.

Kalimat itu membuat Dan ngeri. Serta merta dibenturkannya kepala Lalu ke arah tembok berkali-kali. Warna merah merona tembok yang semula pasi. Muncrat ke atas seprai yang dipenuhi noda air mani bermacam laki-laki. Dan pun segera menyadari Lalu mati, saat darahnya mengalir juga di wajah Dan sendiri.

Dan lalu, tak lagi ada kemudian. Yang tinggal hanya pertanyaan. Apakah kematian adalah kekalahan atau kemenangan. Memenjarakan atau memerdekakan.

*Dan lalu… sekitarku tak mungkin lagi kini, meringankan lara. Bawa aku pulang, Rindu, segera!

 

 

Jakarta, Coffeewar dan Rumah

Cerpen Djenar Maesa Ayu (Kompas, 26 Mei 2013)

Sumber :https://lakonhidup.wordpress.com/2013/05/26/dan-lalu/#more-4060

Sabtu, 17 Mei 2014

TEATER KAMPUS

Sebuah renungan bagi kita semua....

Oleh : Putu Wijaya

Pengantar diskusi 23 Oktober 08 di UNNES

Membaca 42 naskah dan menonton 42 VCD  peserta Festamasio IV  2008 – yang nanti akan berlangsung di Jakarta — bagi saya adalah sebuah kesempatan melihat, bagaimana peta teater di kampus dewasa ini. Sudah lama saya merasa bahwa ada sesuatu yang perlu dirembug dalam kehidupan teater di kampus.

Dalam sebuah pertemuan teater kampus di Solo beberapa tahun yang lalu, saya menyarankan agar teater kampus, tidak hanya menjadi “permainan” anak kampus yang sibuk dengan persoalan kampus saja, tetapi kehidupan teater yang bebas. Saya menulis kredo untuk teater kampus. Jangan sampai teater kampus merasa leluasa membuat kesalahan dan pertunjukan yang di bawah kualitas, dengan alasan bahwa teater bagi mereka hanya sekedar selingan/hobi di samping kesibukan akademinya.

Sebagai gudang pengetahuan dan pusat penggodokan intelektual muda, kampus lewat teater seharusnya memberi lampu terang pada kehidupan teater Indonesia. Harus menjadi pelopor, sebagaimana yang terjadi juga di beberapa kampus mancanegara. Teater kampus ditonton dengan penuh penghormatan dari masyarakat, bahkan sering memberikan langkah besar dan inovasi.

Kesan saya selama menyaksikan 42 VCD dari berbagai kampus di seluruh Indonesia tersebut adalah : besarnya pengaruh teater tradisi pada persembahan masing-masing teater. Unsur-unsur visual dalam semua VCD sangat menonjol, lebih dari unsur verbal-nya. Bagi saya ini hal yang positip.

Musik, tari ditampilkan kadangkala lebih besar porsinya dari seni akting. Ini adalah ciri-ciri tontonan. Kekuatan teater tradisi kita memang bukan pada realisme tetapi pada stilisasi. Kalau ini disadari dan dikembangkan secara terarah, benar-benar akan menjadi kekuatan dan keunikan. Tetapi kalau ditanggapi keliru, apalagi kalau teater dipetakan kepada teater Barat, akan terjadi konflik yang tidak hanya membingungkan tetapi menyesatkan sehingga perkembangan teater di kampus akan selalu gagap.

Penyutradaraan, penataan adegan dan set, seni laku atara teater yang realis dan teater tontonan  berbeda. Yang pertama mengacu pada teori-teori realisme yang memang sudah berkembang pada teater Barat. Yang kedua pada upacara bersama di mana tidak batas lagi antara penonton dan tontonan. Yang kedua juga dipelajari dengan sungguh-sungguh oleh para dramawan Barat, tetapi yang kemudian lebih diarahkan pada eksperimentasi sehingga terpisah dari kehidupan nyata. Sementara hal tersebut masih hidup dalam kenyataan kehidupan kita. Ini memerlukan pemahaman yang jernih, kalau tidak, kita akan mempelajari jatidiri kita lewat cermin Barat. Hasilnya adalah kegagapan. Teater tradisi yang asli bagus, tetapi ketika kita mencoba menempelkan-nempelkannya, akan terjadi sesuatu yang kosong, kehilangan jiwa.

Aspek penulisan lakon dalam Festasimo IV masih rawan. Kebanyakan naskah tidak ditulis oleh orang yang trampil dan menguasai media teater. Titik pusat jadi hanya pada cerita. Tetapi cerita pun tidak menarik karena tidak ada ide yang segar, unik dan orisinal. Itu terjadi karena nampaknya naskah tidak ditulis oleh pengarang, tetapi oleh orang lapangan yang punya kebutuhan mendesak pada adanya naskah.

Aspek pemeranan – seni akting – kurang didasari pengetahuan tentang seni laku yang khusus panggung, Proyeksi yang merupakan salah beda antara seni laku di panggung dan seni laku di layar kaca/layar perak kurang dipahami. Kadang muncul gaya permainan yang benar-benar mencontoh gaya bermain di sinetron yang sok wajar tetapi kemudian ternyata tidak wajar. Kadang ada usaha memproyeksikan laku begitu teateral sehingga over acting. Sesuatu yang harusnya disampaikan secara realis menjadi amat teateral (baca berlebihan) sehingga tontonannya sama sekali tidak menarik.

Aspek penyutradaraan juga menunjukkan kelemahan. Sebuah naskah yang buruk, di tangan sutradara yang baik, bisa menjadi menarik. Dan sebaliknya naskah yang punya kemungkinan bagus bila dioleh dengan tanpa ketrampilan ( interpretasi, kreasi, sudut pandang) akan jadi tontonan yang gagal. Tidak selamanya di kampus ada sutradara. Untuk itu kampus harus membuka diri. Rela mengundang sutradara tamu dari kampus lain atau dari kelompok teater di luar kampus. Sebuah pertunjukan yang tidak dipersiapkan oleh seorang sutradara yang benar-benar sutradara, akan membuat pertunjukan tak punya arah.

Hanya penataan set dan musik yang  mulai menunjukkan kemajuan. Ini mungkin karena pasokan dari musik tradisi yang memang amat kaya dan dari mereka-mereka yang benar-benar menguasai bidangnya. Ini menjelaskan kembali bahwa teater memang memerlukan partisipasi dari berbagai bidang, karena teater memang cabang kesenian yang merangkum hampir semua bidang kesenian. Selama ini yang sering terjadi, banyak bidang ditangani oleh mereka yang tak punya keahlian sehingga hasilnya menjadi amatiran.

Sudah waktunya kini untuk melihat teater sebagai sebuah ilmu. Karenanya memerlukan pembelajaran. Banyak sekali buku-buku teater yang dapat menjelaskan seluk-beluk teater. Masing-masing jenis teater memiliki langkah, acuan dan bahkan cara pendekatan yang berbeda. Apabila teater kampus memperhatikan semua itu, akan ada usaha memilih jenis teater yang mana yang paling sesuai dengan materi mau pun sarana yang ada di dalam kampus. Ketepatan memilih jenis teater itu akan mempengaruhi hasil yang akan dicapai.

Tontonan adalah sebuah istilah yang berasal dari pertunjukan teater tradisi/rakyat. Kata yang sederhana itu menjelaskan sesuatu yang sangat luas dan mendasar. Selama ini yang sering hilang dari berbagai pertunjukan teater adalah unsur tontonannya. Sesuatu menjadi tontonan karena sesuatu itu menarik, membuat penasaran, menghibur, komunikarif, memberikan pengetahuan dan sebagainya. Untuk itu diperlukan sebuah perencanaan. Dan untuk membuat perencanaan, harus ada studi dan strategi. Bertambah jelas lagi bahwa teater adalah sebuah proyek yang mencakup banyak hal, tak hanya seni akting. Inilah yang sering diabaikan dalam produksi teater, khususnya teater kampus.

Sumber : http://putuwijaya.wordpress.com/2008/11/03/teater-kampus/

Jumat, 16 Mei 2014

Pagelaran Seni Samprak "Grayak"

Pagelaran Seni Samprak dari kelompok Gugur Gunung dengan ide cerita dan pengatur laku oleh Bapak Hanindawan yang diadakan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta ini mengisahkan tentang kehidupan seseorang yang begitu menyayangi ibunya hingga menjadi perampok demi untuk membelikan sawah bagi ibunya yang selama ini bekerja di sawah milik orang lain. Dengan lakon Hanindawan, Sri Maryati, Pelok Sutrisno, Wabi Metta, Dewi WD, dan lakon lainnya serta diiringi oleh OK. Sri Lumbung Pari. Dalam pementasan ini diceritakan bagaimana kehidupan manusia pada umumnya, ada si kaya dan si miskin yang berbeda nasib. Bagaimana cinta kasih itu bisa ada disetiap manusia, bahkan seorang perampok yang menakutkan sekalipun. Satu kata untuk pementasan ini, Menakjubkan!

"Jo podo nelongso

jamane jaman rekoso.

Urip pancen angel
kudune ra usah ngomel



Ati kudu tentrem

nyambut gawe karo seneng
ulat ojo peteng
nek dikongkon yo sing temen



Lha opo tho konco

ati kerep loro
ra gelem rekoso
mbudi doyo



Pancen kabeh podo

pengin urip mulyo
wiwitan rekoso
pancen nyoto"

Ojo Podho Nelongso - Koes Plus


Sabtu, 10 Mei 2014

Pentas Pantes X 2014 at Student Center UNS

Make up dulu biar yahud!!

Tari "SELENDANG RAMPAK"

"PUNOKAWAN BUBAR"
"PUNOKAWAN BUBAR"

Pentas Pantes X 2014 at Student Center UNS

"MIRING"
Naskah "MIRING"



Naskah "Pada Suatu Hari"
Para alumni yang ikut memeriahkan Pentas Pantes X