Minggu, 18 Mei 2014

Naik Ka-Er-El


: Bambu

Aku pernah kerja di sebuah majalah berita ketika masih berkantor di Senen. Setiap hari harus naik angkot gonta-ganti tiga kali dan setiap masuk kendaraan kepalaku membentur bendul pintu yang rendah, sedikitnya dua kali seminggu, begitu. Jadi, satu kali jalan tiga angkot, pulang balik enam angkot; kalau dua kali seminggu berarti seminggu benjut dua kali enam = 12 kali. Sebulan empat kali 12 = 48 kali benjut. Akhirnya tidak ada bagian yang bisa benjut lagi karena seluruh permukaan kepalaku sudah benjut.

”Lha mbok naik ka-er-el saja, Mas. Nyaman,” kata seorang gadis cantik yang duduk dekat ketua redaksi; ia wartawan baru.

Ya, kenapa tidak begitu saja dulu-dulu, pikirku. Begitulah, sore itu menjelang jam empat beberapa pegawai mengajakku buru-buru kabur supaya tidak ketinggalan kereta jam empat. ”Lumayan kosong, Mas, kalau yang jam empat,” kata salah seorang ketika menuju ke Stasiun Cikini.

Sampai di stasiun, saya tidak boleh menunjukkan tampang orang kaget meskipun menyaksikan begitu banyak orang bergerombol menunggu kereta. ”Apa gerbong-gerbong itu nanti muat?” tanyaku dalam hati. Dalam gerbong tak tersisa lagi pegangan tangan, dan memang tak perlu sebab tanpa berpegangan apa pun tak akan jatuh saking penuhnya. Sepatu menginjak sendal, dengkul beradu dengkul, bokong menyenggol bokong.

Sampai di stasiun tujuan, tidak perlu berusaha apa pun aku terbawa turun tergencet orang-orang yang berdesakan. Turun dari gerbong aku berjalan terpincang-pincang menuju angkot D-04 yang sudah berbaris. Sampai di rumah, kalimat pertama yang diucapkan anakku ketika membukakan pintu adalah, ”Lho, Pak, kok sepatunya kiri dan kanan gak sama?”

Aku tak menjawab karena tak tahu harus bilang apa. Dan ketika dalam kamar berganti celana, baru aku sadar bahwa kakiku yang kiri dan yang kanan tak sama panjangnya, yang kiri bukan kakiku ternyata. Pantas tadi jalanku terpincang-pincang. Tanpa pikir terlalu panjang aku ganti celana lagi langsung berlari keluar, menabrak istriku, mendorong anakku, membuka pintu pagar.

”Hei, Bapak mau ke mana?” tanya mereka hampir serempak.

Apa ada yang perlu aku jawab? Berjalan terpincang-pincang aku ke jalan menunggu angkot. Akan aku tanyai semua orang di stasiun apa ada yang melihat orang yang membawa kabur sebelah kakiku.

Aku akan sabar menunggu.

Cerpen Sapardi Djoko Damono (Kompas, 9 Februari 2014)

Sumber : http://lakonhidup.wordpress.com/2014/02/09/lima-cerpen-sapardi-djoko-damono/


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam aliquam massa quis mauris sollicitudin commodo venenatis ligula commodo.

Related Posts

0 comments:

Posting Komentar