Minggu, 25 Mei 2014

Di Sebuah Kedai Kopi


Adalah suatu masa ketika kosong itu menjadi hal yang paling menakutkan, ketika hilangnya tujuan menjadi suatu yang membahayakan. Merindukan hal yang sulit ditemukan lagi hilang dalam kerinduan itu sendiri. Sendiri itu menyakitkan, suatu pencapaian pada puncak dari titik jemu memaksa diri untuk tidak lagi berharap pada kenyataan. Kasih sayang semu, tak lagi ada ketulusan atau kejujuran, kedekatan yang berkedok belaka terlihat manis dan anggun namun menusuk dari belakang. Di tempat itu dulu tumbuh cinta kasih yang indah namun tak sadar terlewatkan, penyesalan demi penyesalan yang kini mengisi kehidupan. “Tuhan mengapa Kau gariskan takdir itu berliku, bukan takdir yang selamanya indah, yang selamanya baik. Bukankah takdir yang baik itu indah?”
Mereka yang tidak mengerti arti kehilangan mungkin akan berlalu begitu saja, biarkan mengalir kata mereka. Namun mengalir bukanlah jawaban yang ingin aku cari. Kekosongan itu semakin mengintimidasi. Tak ada ujung simpul dari penantian yang aku jalani selama ini, pun tak ada kebahagian yang aku banggakan. Semua berputar dan terus berputar tanpa ada akhir.
Sejenak aku hisap sebatang rokok yang sedari tadi aku diamkan bercumbu dengan asbak hingga hanya menyisakan satu hisapan terakhir. Aku pertemukan lagi rokokku dengan asbak, aku padamkan apinya di asbak yang ia kasihi itu. Kemudian aku memandang kearah cangkir kopi yang sedari tadi aku diamkan, seolah mengiba untuk diminum barang hanya seteguk saja, mengiba seperti rinduku ini. Lalu aku minum secangkir kopi yang mulai dingin itu.
Harapan yang kuseduh dulu, mengeruh di secangkir kopi itu. Aku memang selalu butuh secangkir kopi, bukan hanya untuk sekedar menahan kantuk yang mendera, tapi juga untuk menahan rindu yang selalu saja menyiksa.
Rasa kopiku kali ini, adalah rasa rindu yang tak tersampaikan. Dan di kedai yang tak menjual kerinduan ini aku teguk kopi itu sedikit demi sedikit diiringi sayup-sayup alunan lagu Dear Diary milik grup Mocca yang mulai aku suka, baru pertama kali itu aku mendengarnya. Kurang lebih liriknya seperti ini...

Dear Diary..
Let me tell you about my story..
I know it’s rather sad..
But that’s the way I fell...

Lalu kenikmatanku meneguk kopi dengan iringi alunan musik syahdu itu seketika berubah. Aku melongok ke sisa kopi yang aku teguk, begitu pekat. Dan aku melihat kelamnya hidupku di tengah pekatnya, ujar kopi itu sangat pahit. Tapi apalah artinya pahit kopi yang sepahit-pahitnya jika dibanding dengan kehidupan. Kini semua pikiranku menjadi satu, penuh sesak. Aku mulai merenungkan hidupku.
Aku bukan kaum hedonis yang mengejar kebahagiaan dunia semata, namun apa yang terjadi jika pada akhirnya kebahagiaan dunia pun tak dapat aku raih? Apakah bahagia akhirat menjadi jaminan bagiku?
Jam menunjuk angka 12, sama seperti waktu dulu ketika aku masih memiliki sedikit bahagia dalam diriku. Masih aku terpaku pada renungan tentang hidup.
Bolehkah aku menyusul kalian kesana? Aku merasa kesepian di tempat ini. Aku seperti makhluk asing yang selalu dijadikan obrolan mereka ketika malam. Dan dengan lantang mereka menertawakanku. Aku bosan di tempat ini. Aku bosan di tempat dimana aku tak mempunyai tujuan pasti. Aku bosan jadi pecundang di dunia yang aku yakini. Kebodohan mana lagi yang mereka perbincangkan? Sendiri aku menanggung sepi ini, setiap langkahku adalah salah, setiap lisanku adalah sampah yang tercecer pada barisan waktu. “Lalu kebahagiaan mana lagi yang mampu aku miliki?” Aku bertanya pada diriku sendiri.
Semua orang mengenakan topeng dan riasan yang tebal. Menyembunyikan jati diri mereka dibalik setiap senyum dan ramah yang mereka pajang. Panggung ini bukan lagi untukku Tuhan. Aku kutuk diriku sendiri yang menyia-nyiakan waktu. Aku bukanlah panglima perang pada abad ke-16 yang dengan gagah berani menantang musuh dan begitu kuat bertahan di medan perang walau dengan tantangan hujan panah yang mampu membunuh mereka dengan cepat.
Aku hanyalah aku sedemikian sederhananya aku. Dan aku adalah aku yang merasa keadilan tak lagi berpihak kepadaku. Kemudian pada kebahagiaan mana lagi aku dapat menyimpan air mata ini?
            Di depanku ada sekelompok orang yang bercengkerama dengan asyik, 2 pria 3 wanita, aku tak tahu pasti apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi kurasa itu obrolan yang begitu hangat, begitu seru. Mungkin semua hal mereka obrolkan, tanpa mereka pedulikan dunia melihat mereka. Setelah lama kau perhatikan, obrolan itu semakin hangat layaknya obrolan dalam sebuah keluarga, yang sebenernya sudah sejak lama aku sendiri tak merasakannya lagi. Semenjak itu semua di hariku berubah dingin dan hambar. Aku merindukan waktu, tapi aku harus berkencan dengan takdir. Takdir yang membawaku pada relung kesedihan ini.
Aku terbiasa takut untuk memejamkan mata, bahkan aku takut untuk terlelap dalam kesendirian. Karena lelapku mengundang mimpi yang begitu indah, begitu nyata. Mengundang kehadiran mereka yang tak lagi ada. Dengan sedikit keberanian yang tersisa aku mencoba merasakan semesta di sekelilingku, aku berpaling dari ingatanku. Aku menginjakkan jejak nestapaku di dalam gelap. Gelap itu menjadi ruang.
Ruang jiwa itu kosong tiada berpenghuni, usang dimakan sang waktu. Di sudut ruang itu pikiranku melayang-layang tak mampu aku raih, dengan segala ketidakwarasan ku mengutuk kehidupan. “Mungkin mati lebih baik untuk keadaanku sekarang ini” Pikirku. Lalu suara-suara menakutkan itu mulai datang dan memecah kesunyian di ruang itu. “Hei Ardi! Kau sudah terlalu banyak menapak dosa di kehidupanmu! Sekarang kau sendiri dan kau mati tapi kau tak tahu bahwa kau mati! Kau tak tahu bahwa kau telah mati dan kau mati!”
“Kau meledekku! Aku belum mati tapi memang aku ingin mati!” bentakku pada suara itu. “Dan kau masih belum juga menyadari arti kematianmu? Kau telah ditinggalkan dalam arti yang sebenarnya Ardi! Kau di buang ke dalam kekosongan hatimu sendiri! Kau sendiri dan tak ada satupun yang peduli! Kau mati baik jiwa dan raga! Kau mati entah itu kau tahu ataupun tidak!!”
“Dan kau masih belum paham? Dosa yang kau perbuat sudah cukup untuk membalasmu agar sengsara. Dan kau masih belum paham? Kau ditinggalkan karena nafsumu yang tak dapat kau tahan, dunia yang kau kejar Ardi? DUNIA!” Suara lain mulai masuk dan menambah ketakutanku. “Lalu apa lagi yang harus aku lakukan, waktu telah berputar sesuai kodratnya, dan tak mampu aku putar balikkan waktu meski aku mau” Aku mulai terisak bersama keluarnya pembelaanku. “Dan kau masih belum paham? Itulah penyesalan, raja dari segala bentuk rasa yang tak mampu kau kuasai! Dan kau masih belum paham? Dan kau masih belum paham? Dan kau takkan pernah paham karena kau telah mati!” Semakin lama suara itu semakin memberatkan suaranya, seperti gemuruh, seperti dentuman, seperti ledakan bom, atau entah apa saja itu. “Lantas?” aku jadi ciut dengan hardikannya. “Lihatlah dirimu, bodoh! Angkuh! Mabuk kau dengan dunia!” Aku terus mencermati suara itu. “Dan kau kini nista, sendiri menjalani hari-harimu. Tak ada yang peduli padamu, bahkan tidak sedikitpun dari dirimu.” Aku semakin mengenali suara itu, beragam tapi ternyata sama. Aku telah tertipu oleh pendengaranku sendiri.
Dan ketika aku meyadari tipu muslihat itu seketika pula bayangan masa lalu yang aku lupa terputar bagai sebuah film di depanku, aku menonton diriku sendiri disana. Gambar-gambar bergerak begitu pelan, hening, semua tampak rapi tersusun menjadi film yang bahkan jauh lebih menakjubkan dari film pemenang piala penghargaan perfilman, dengan segala skenario yang dibuat sedemikian rupa, dengan pemain yang cerdas membawakan perannya. Namun di depanku kini aku melihat film tentang perjalanan masa lalu ketika mereka yang kini tak ada masih ada, dan aku seperti terseret kedalamnya, larut bersama film itu. Aku melihat aku yang dulu, yang angkuh, yang masih belia, sombong dan semua negasi dari kebaikan yang ada di muka bumi ini. Semua perbuatanku terceritakan sangat jelas di dalam sana. Bahkan setiap centi langkahku terwakilkan cukup apik di sana. Dan aku-yang-ada-disana tuli pada diriku sendiri. “Hei! Hei aku! Hei!” Aku mencoba memanggil aku-yang-ada-disana, aku di masa lalu yang begitu rapuh.
Semakin aku memaksa teriak, semakin aku menjauh. Aku melihat sendiri apa yang aku lakukan, dulu yang tidak pernah aku sadari. Terlewat begitu saja dan aku lalui tanpa aku pahami. Akhirnya aku menyerah untuk berteriak, kerongkonganku serasa kering. Aku menyerah. Tapi tetap aku perhatikan film itu, semakin aku melihat, semakin aku mengerti. Semakin aku mendengar, semakin aku paham. Ternyata sebab musabab sendiriku saat ini adalah diriku sendiri, refleksi dari semua tingkah dan polahku di masa lalu. Kini aku memahami arti film itu dan aku  sadar aku telah terlambat, semuanya sudah lewat dari waktunya. Tak mungkin lagi bagiku mengejar kereta waktu itu. Aku telah jauh tertinggal. Filmku sendiri itu telah berhenti dan aku kembali. Kembali  kepada perenunganku, senyap sekali rasanya. Semuanya buyar, aku terkejut sendiri dengan apa yang baru saja aku alami dan aku rasakan. Di kedai ini aku diingatkan, aku dibuatnya paham. Bahwa kenangan dan hidup seperti kopi, dapat kau siramkan lagi air panas ke sisa ampasnya, namun rasanya takkan pernah sama. Waktu yang tak akan pernah bisa kembali, rindu yang tak akan pernah terobati. Kini aku benar-benar sendiri. Sendiri itu menyakitkan. Waktu mampu mengubah gedung-gedung, tapi waktu tidak pernah mampu mengubah kenangan.
Aku terlambat menyadari, terlalu banyak aku menuntut diluar aku. Terlalu sering aku membuang waktu, ekspektasiku jauh melampaui batas diriku. Dan kini aku ditinggalkan sendiri disini, dengan dengan segala keabstrakan ini. Aku bergumam “Apalah arti penyesalan kalau semua telah hilang, apakah akan kembali benar dalam kehidupan sekarang yang sudah sangat berbeda?”. Ah, terlalu banyak pertanyaan untuk terlalu sedikit waktu.
Indahnya kenangan tak pernah abadi, ketidakabadiannya itulah yang membuatnya begitu berharga. Mungkin Tuhan ingin mengajarkanku untuk menerima bahkan yang tidak bisa aku terima, tapi mengapa dengan cara seperti ini? Aku, tidak Ardi maksudku, aku sekarang bukan lagi Ardi. Ardi telah lama hilang dari diri ini. Nama Ardi itu hanya sebagai pengenal, namun itu bukan lagi aku. Ardi yang  angkuh, penuh percaya diri, merasa dirinya yang terhebat dibanding yang lain, yang memegang teguh prinsip yang justru mengacaukan arah hidupnya, keyakinan hakiki tentang dirinya sendiri telah tumbang oleh kenangan.
Keluarga, sahabat, cinta dan semuanya telah runtuh. Hancur termakan kejamnya waktu yang tak pernah mau menunggu. Beranjak dan telah pergi dari hidup yang hina ini. Mereka yang dulu pernah ada disampingku setelah sekian waktu yang dijalani bersama, mereka yang dulu menyinari duniaku, kini telah pergi dan tak akan mungkin kembali. Tak ada singgasana yang aku raih, tak ada martabat yang bisa aku pertahankan, dan semua memang mengalir, begitu deras dan menerjunkanku di lembah kesepian. Keluarga, sahabat, cinta, dan semua yang pernah aku miliki dulu, kini sudah tak ada lagi disini. Aku hanya kosong tak berapa-apa. Pergi, jauh dan semakin jauh sementara aku masih saja disini. Meratapi nasib yang menaungiku. Cengeng memang, tapi itulah kenyataan itulah kehidupan.
Mungkin saat ini kita tidak ditinggalkan, namun suatu saat kita memang harus saling meninggalkan. Pergi itu pasti, dan kita dihadapkan pada suatu pilihan untuk bersiap pergi meninggalkan pilu atau bersiap bersedih tanpa kata dalam kesendirian.

Dan sejak renungan di kedai kopi ini aku mencoba mengais sisa-sisa kenangan. Aku memang masih hidup, tapi tinggal jasad saja. Hatiku, jiwaku, semangatku, dan seluruh harapanku sungguh telah dibantai dan mati mengenaskan. Hatiku, jiwaku, semangatku, harapanku telah menemui ajal sejak aku tak mau mendengar sekitar, dan ketika aku tuli pada sekeliling terlebih pada diriku sendiri. 
Dan aku menegaskan pada diriku sendiri bahwa sesungguhnya aku telah benar-benar MATI.

Sumber : http://unear-me.blogspot.com/2014/05/di-sebuah-kedai-kopi-adalah-suatu-masa.html

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam aliquam massa quis mauris sollicitudin commodo venenatis ligula commodo.

Related Posts

2 komentar: