Minggu, 18 Mei 2014

Dan Lalu


Dan berjalan tertatih memapah Lalu. Selalu saja terjadi seperti itu. Padahal sebelumnya Dan berniat untuk maju. Tak lagi mengindahkan tangis Lalu di belakangnya yang mendayu-dayu.

Tapi untuk kesekian kalinya Dan kalah. Kedua kakinya urung melangkah. Tangis Lalu ibarat tali tambang yang menjerat erat kedua kakinya agar tidak pindah. Dan tak berdaya walaupun sebenarnya sudah merasa teramat sangat jengah.

Ketika Dan pertama kali bisa mengingat, itulah awal ia mengenal Lalu. Saat itu Lalu adalah seorang bocah yang masih lugu. Dan ingat betul hari pertama Lalu pergi ke sekolah. Rambutnya yang dikuncir kuda, berpita merah. Tangannya digandeng oleh pembantu. Sementara anak-anak lain datang diantar Ibu. Gerak tubuhnya kaku. Sorot matanya ragu. Lalu seolah tenggelam di dalam lautan orang tua, murid dan guru.

Dan juga masih ingat betul semua kejadian di dalam rumah Lalu yang terletak di kawasan mentereng. Di tingkat rumah gedongan itu ada sebuah tempat khusus untuk menjemur pakaian berlantai seng. Ibu Lalu senang menghukumnya di sana. Lalu disuruh berdiri seharian tanpa ada yang mengalasi kakinya. Panas matahari yang diserap oleh seng membuat telapak kaki Lalu terasa membara awalnya. Tapi jerit kesakitan yang ingin keluar dari dalam mulutnya hanya bisa Lalu teriakkan di dalam batinnya saja. Bagi Lalu tak ada panas yang mampu membakarnya hidup-hidup kecuali bara di dalam mata ibunya.

Ibu Lalu dipersunting pada usia muda. Itu pun sebagai istri ketiga. Kisah klasik tentang kesulitan ekonomi yang membuat kedua orang tuanya dililit hutang. Tak punya pilihan, direlakannyalah sang anak semata wayang. Ibu Lalu tak berdaya menentang. Walau jauh dalam lubuk hatinya meradang.

“Tak ada yang lebih kelam daripada dendam seorang anak pada orang tuanya. Tapi tak ada yang lebih kejam daripada dendam seorang anak kepada orang tuanya yang dilampiaskan kepada keturunannya.” Kalimat Lalu itu terngiang-ngiang di dalam telinga Dan sepanjang waktu. Saat mengatakan itu, Lalu sudah bukan lagi bocah yang lugu. Ia dengan santai duduk sambil merokok tanpa mengenakan baju. Beberapa saat sebelumnya seorang laki-laki pergi. Entah laki-laki keberapa yang hari itu sudah ia tiduri. Lalu sama sekali terlihat tak peduli. Ia lebih menikmati hidupnya kini asal ibunya tak lagi bisa menyakiti.

Melihat semua itu, kadang Dan menyesal juga. ”Setiap orang berhak untuk bahagia,” begitu yang dikatakan Dan saat Lalu menangis terisak-isak di atas bahunya. Kebencian Lalu pada ibunya, adalah kebencian Dan juga. Dan benci setiap kali ibu Lalu mencaci-maki hanya untuk masalah-masalah kecil. Lupa di mana menaruh pensil. Alpa kapan harusnya menggunakan sendok makan besar atau kecil. Kebanyakan ngemil. Padahal Dan tahu kalau penyebab semua itu adalah suami Ibu Lalu sudah jarang sekali pulang dikarenakan istri keempatnya sedang hamil.

Dan lebih benci lagi setiap kali ibu Lalu tidak hanya mencaci-maki, tapi juga melayangkan tamparan hanya karena masalah-masalah yang ia anggap besar. Mendapat nilai buruk dalam pelajaran Aljabar. Menyisihkan uang jajan agar bisa secara diam-diam membeli gitar. Berteman dengan anak-anak yang dianggap berasal dari keluarga tak terpelajar. Padahal Dan tahu kalau penyebab semua itu adalah selain suami ibu Lalu sudah jarang sekali pulang, uang yang diberikan pada mereka pun semakin ala kadar.

Dan pun sangat amat benci setiap kali ibu Lalu tidak hanya mencaci-maki dan melayangkan tamparan. Tapi juga mempersiapkan segala atribut kekerasan hanya karena ia sendiri yang menganggap kenakalan Lalu sudah berada di luar batas kewajaran. Kabur dari Les Tambahan. Yang semula peringkat satu, langsung turun ke peringkat sembilan. Pacaran dengan berandalan. Padahal Dan tahu kalau penyebab semua itu adalah selain suami ibu Lalu sudah jarang sekali pulang dan memberikan uang, Ibu Lalu juga tak bisa memperkarakannya secara hukum tanpa adanya akta pernikahan.

Dan menelan hingga kenyang segala caci-makian maupun tamparan ibu Lalu. Tapi Dan sudah benar-benar muak dengan segala hukuman itu. Dan tak lagi sampai hati melihat kedua telapak kaki Lalu yang melepuh di atas seng. Diikat lalu disekap seharian tanpa minum dan makan dalam kamar mandi pembantu bagai makanan kaleng. Dipaksa makan sepiring kertas-kertas pelajaran Aljabar yang dipenuhi tanda contreng. Padahal semua itu adalah pelampiasan benci ibu Lalu kepada suaminya. Juga kepada kedua orang- tuanya. Tapi anak kandungnya sendiri yang harus menanggung akibatnya.

Dan berjalan tertatih memapah Lalu. Keluar dari rumah Ibu. Kedua telapak kaki Lalu yang melepuh tak lagi terasa perihnya. Penuh harapan menjemput merdeka. Diantarnya Lalu menemui pacarnya di sebuah kamar kumuh. Di sana, Lalu mengeluarkan segala resah dan keluh. Hingga tanpa terasa, keluh itu berangsur jadi lenguh. Berpeluh mereka, sambil saling mengaduh. Segala derita Lalu terasa begitu jauh.

Lalu terbangun saat seseorang meraba pinggulnya. Dibalasnya rabaan tangan itu dengan maha mesra. Tapi alangkah terkejutnya Lalu saat membalikkan tubuhnya. Itu bukanlah tangan pacarnya. Lalu mencoba melawan dengan sekuat tenaga. Tapi kekuatannya sama sekali tak sebanding dengan kekuatan laki-laki yang tengah menindih tubuhnya.

Semuanya terjadi secepat kilat. Namun bagi Lalu, waktu yang berjalan terasa amat lambat. Lalu pun segera tahu jika ia sudah tertipu. Tapi Lalu juga tahu jika pulang bukanlah pilihan yang tepat saat itu. Bisa dengan jelas Lalu bayangkan sorot kepuasan di dalam mata ibunya saat tahu jika ia benar. Laki-laki yang Lalu anggap pacar dan bisa menjadi penyelamatnya itu ternyata tak lebih dari seorang makelar. Bisa dengan jelas Lalu dengar juga suara tawa ibunya yang keluar dari mulut terbuka lebar. Sungguh, dibanding semua yang dibayangkannya itu, Lalu lebih memilih dihajar.

Dan nelangsa dibuatnya. Kalau pun pulang ke rumah Ibu bukan pilihan pertama, membiarkan tubuh dijajakan harusnya bukanlah pilihan kedua.

“Tiap orang berhak untuk bahagia,” lagi-lagi Dan mengingatkan.

“Bahagia itu apa?!” tangkas Lalu.

“Merdeka.”

“Merdeka katamu?!” Lalu tertawa terbahak-bahak. Dibenamkannya dengan kasar nyala rokok ke dalam asbak.

“Kita dilahirkan ini bukan untuk merdeka! Kalau iya, dari awal kita bisa nentuin mau dilahirkan atau enggak. Nah ini, milih dilahirin siapa aja kita gak mampu. Mati dengan cara apa nantinya pun kita gak pernah tau, masih juga ngomongin bahagia. Merdeka. Taik!”

Sekujur tubuh Dan lemas. Apalagi setelah suara Lalu terdengar makin keras.

“Eh, sadar gak kamu berapa sering waktu lagi enak-enak tidur kita mesti bangun kencing?! Kita semua terperangkap di dalam tubuh brengsek ini. Kalo mau merdeka, ya mesti mati!”

Dan terkesiap. Seketika ia merasa siap. Lalu memang seharusnya mati. Jika tidak, tak akan pernah ada kata “Dan” dalam kamus hidupnya nanti.

“Tak ada yang lebih kelam daripada dendam seorang anak pada orang tuanya. Tapi tak ada yang lebih kejam daripada dendam seorang anak kepada orang tuanya yang dilampiaskan kepada keturunannya.”

Dan tidak ada yang lebih seram daripada dendam seorang anak kepada orang tuanya yang dilampiaskan kepada keturunannya, yang menyebabkan sang korban menghukum dirinya.

Kalimat itu membuat Dan ngeri. Serta merta dibenturkannya kepala Lalu ke arah tembok berkali-kali. Warna merah merona tembok yang semula pasi. Muncrat ke atas seprai yang dipenuhi noda air mani bermacam laki-laki. Dan pun segera menyadari Lalu mati, saat darahnya mengalir juga di wajah Dan sendiri.

Dan lalu, tak lagi ada kemudian. Yang tinggal hanya pertanyaan. Apakah kematian adalah kekalahan atau kemenangan. Memenjarakan atau memerdekakan.

*Dan lalu… sekitarku tak mungkin lagi kini, meringankan lara. Bawa aku pulang, Rindu, segera!

 

 

Jakarta, Coffeewar dan Rumah

Cerpen Djenar Maesa Ayu (Kompas, 26 Mei 2013)

Sumber :https://lakonhidup.wordpress.com/2013/05/26/dan-lalu/#more-4060

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam aliquam massa quis mauris sollicitudin commodo venenatis ligula commodo.

Related Posts

2 komentar: